Mau dapet Duit??


eConomic syaRi'ah Theme

Economic Syariah for the future

HARTA 22.10

BAB I

PENDAHULUAN

Harta kekayaan dan materi sungguh tidak pernah habis-habisnya di bicarakan oleh setiap orang. Harta itu begitu dekat dan penting. Melimpahruahnya harta senantiasa diasosiasikan sebagai kebeuntungan dan kesuksesan, sebaliknya kemiskinan diidentikkan sebagai ketidakberuntungan dan mungkin kegagalan. Tentu hal ini dimaklumi bersama, mengingat harta memang terbukti secara instant menjawab banyak sekali persoalan hidup, meskipun tentu bukan semuanya. Kekayaan lalu menjadi symbol eksistrensi dan posisi, bahkan tidak jarang menjadi symbol otoritas dan kekuasaan. Maka fitnah harta dan kekayaan sangatlah dahsyat mengiringi kehidupan setiap insane ; banyak yang berjatuhan terpedaya olehnya, namun tidak sedikit pula yang tegar tidak tergoda dengan harta.

Masalah yang sedemikian krusial tentu tidak mungkin terlepas dari perhatian islam. Al-Qur’an mengatur tentang harta kekayaan secara relative detail; misalnya dalam konsep zakat, utang-piutang, anjuran berinfak, hingga pembagian warisan dalam keluarga. Hadits nabi melengkapinya dengan etika dalam berdagang , pembagian keuntungan dalam kongsi, jual beli, pegadaian dan lain-lain.

Sesungguhnya harta umat islam dan kekayaan individu merupakan factor yang sangat penting dalam menuju kebangkitan, kekuatan, dan pertahanannya. Karena, bila umat individu-individunya fakir akan berakibat pada kelemahan, mudah di timpa oleh musibah dan guncangan kemudharatan, dan musuh pun akan merajalela menyerangnya. Orang-orang kaya sangat jarang memnjumpai bahsan yang seimbang dan fair yang menjelaskan tentang manhaj islam dalam meraih kekayaan dan kaidah-kaidahnya, serta perkara-perkara yang halal dan yang haram bagi mereka. Pemahaman orang-orang tentang hukum-hukum harta benda dan kekayaan sangat minim yang membuat kaum muslimin menghindar dari usaha mencari kekayaan. Hal ini juga mengakibatkan kerancuan dan ketidakjelasan manhaj islam dalam kekayaan, yang secara otomatis menyebabkan umat tidak komitmen dengan manhaj tersebut, walaupun sesungguhnya islam itu adalah bangunan yang lengkap dan mencakup hukum-hukum harta benda dan kekayaan bagi orang-orang kaya, sebagaimana ia juga telah meletakkan manhaj dan hukum-hukum yang berkenaan dengan kefakiran dan orang-orang fakir. Dalam makalah ini saya akan membahas tentang harta. Pengertian harta,manfaat harta, kedudukan harta dan lain-lain.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Harta

Secara etimologi harta atau al mal asal katanya malun yang berarti condong atau berpaling dari satu sisi. Harta (al mal) di artikan sebagai sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat. Sedang secara epitemologi “harta adalah sesuatu yang di gandrungi manusia dan dapat dihadirkan (d manfaatkan) pada saat diperlukan”. (Ibnu abidin dari golongan hanafi ). “ harta adalah sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan(dipelihara), dan dapat dimanfaatkan menurut adat(kebiasaan)”. Menurut pandangan mazhab syafi’i sejumlah ulama mazhab hambali dan mazhab Zhahiri. Mereka mengaitkan definisi kekayaan dengan istilah bahasa . jadi menurut mereka harta adalah kepemilikan yang cukup atau lebih. Hubungan harta benda dengan kekayaan adalah bahwa harta benda adalah penyebab kekayaan atau sarana untuk mencapai status kaya. Terkadang harta itu berjumlah sedikit ehingga pemiliknya tersebut tidak di sebut sebagai orang kaya, dan terkadang pula banyak dan melimpah sehingga pemiliknya dimasukkan kedalam golongan orang kaya.

Berdasarkan ketiga definisi di atas ada 2 hal yang harus di perhatiikan, yaitu:

1. Harta itu mungkin di himpun dan di pelihara. Dengan demikian ilmu, kesehatan, kepintaran, dan kemuliaan tidak termasuk hsrts tetspi, pemilik.

2. Dapat di manfaatkan menurut adat kebiasaan. Dengan demikian makanan yang beracun, atau rusak tidak termasuk harta.

B. Harta atau Manfaat itu Harta

“Harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai, dan di wajibkan ganti rugi atas orang yang merusak atau melenyapkannya “(jumhur ulama selain hanafiyah). Dari definisi tersebut di atas, t6erdapat perbedaan mengenai nilai harta. Oleh jumhur ulama d katakana , bahwa harta tidak saja bersifat materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatuu benda, karena yang dimaksud adalah manfaat, bukan zatnya(bendanya). Namun, ulama mazhab hanafi berpendapat bahwa pengertian harta hanya bersifat materi, manfaat menurut mereka termasuk ke dalam pengertian milik. Berarti milik berbeda dengan harta.

Sebagai akibat dari perbedaan pendapat dari jumhur ulama dan ulama madzhab hanafi mengenai harta terlihat jelas dalam kasus sewa-menyewa(ijarah). Apabila seorang menyewakan rumahnya kepadanya kepada orang lain, kemudian pemilik rumahnya meninggal dunia , maka bentuk sewa-menyewa itu menjadi batal, karena pemilik itu meninggal atau rumah itu di serahkan kepada ahli warisnya, karena manfaat (sewa-menyewa yang dikontrakkan), tidak termasuk harta yang dapat di warisi. Namun jumhur ulama berpendapat , bahwa kontrak sewa-menyewa berlangsung terus sampai habis masa kontraknya, sekalipun emilik rumah meninggal dunia, karena manfaat adalah harta yang dapat di warisi. Menurut mereka, berakhirnya akad sewa-menyewa, bukan karena pemilik meninggal.

Pendapat para jumhur ulama ini sesuai dengan adat-istiadat yang selama ini berlaku di Indonesia. Akan tetapi, ulama madzhab hanafi Mutaakhiriin( generasi belakangan), di antaranya Mustafa Ahmad as-Zarqa dan Wahbah Zuhaili berpendapat, bahwa definisi yang dikemukakan oleh para pendahulu mereka dianggap tidak komprehensif dan akomodatif. Sebagai alasannya, adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya:

“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semuaya…”

Kandungan ayat tersebut adalah bahwa segala sesuatu yang di ciptakan Allah adalah untuk di manfaatkan oleh semua umat manusia. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat para jumhur ulama yang telah di sebutkan d atas.

C. Kedudukan Harta

Harta mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia. Harta (uang) lah yang dapat menunjang segala kegiatan serta kebutuhan manusia, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia( papan, sandang, pangan). Bila kita bicara jauh lagi mengenai harta, maka pembangunan semesta yang di dambakan oleh manusia ini tidak akan terlaksana tanpa harta. Tentu harta bukan satu-satunya yang di andalkan dalam mewujudkan pembangunan (material dan spiritual), karena masih ada factor lain yang ikut menentukan, seperti kemauan keras, keikhlasan, kejujuran, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam masing-masing kegiatan. Harta adalah termasuk ke dalam lima kebutuhan pokok manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan(keturunan) dan harta.

Di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah harta mempunyai kedudukan antara lain:

1. Harta sebagai fitrah, “sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan. Dan disisi Allah-lah pahala yang sangat besar”. (QS at-Taghabun:15)

2. Harta sebagai perhiasan hidup. “harta dan anak-anakmu adalah perhiasan hidup”.(QS Al Khafi:46)

3. Harta untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kesenangan: “ (dijadikan) indah menurut pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik”.(QS Ali-Imran 14)

4. Kecelakaan bagi penghamba harta. “celakalah orang yang menjadi hamba dinar(uang), orang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian jika di beri dia bangga, bila tidak diberi ia marah, mudah-mudahan dia celaka dan merasa sakit jika dia kena musibah, dia tidak akan memperoleh jalan keluar”.(HR Bukhari)

D. Pembagian Harta

Ulama fiqh membagi harta menjadi beberapa macam.

1. Dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta terdiri dari :

a. Halal untuk di manfaatkan (mal mutaqawwin)

b. Tidak halala untu dimanfaatkan( ghairu mutaqawwin)

Perbedaan pembagian harta tersebut di atas akan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan harta itu menururt syara’. Bangkai bab dan khamr, bukanlah harta yang hyalal dalam pemanfaatannya dalam islam. Oleh karena itu, tidak sah dilakukan akad(transaksi) terhadap benda-benda tersebut. Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum.

Pertama, pada prinsipnya umat islam tidak di perkenankan menjadikan harta ghairu mutaqawwin sebagai obyek transaksi, tentunya prinsp ini tidak berlaku secara mutlak. Kedua, perusakan atas ghairu mutaqawwin tidak mengakibatkan hak menuntut ganti rugi.

2. Dilihat dari segi jenisnya atau segi kemugkinan dapat dipindahkan, terdiri atas:

a. Harta yang tidak bergerak (mal al-uqar), seperti tanah dan rumah

b. Harta yang bergerak( mal ghairul al-uqar), seperti barang dagangan

Pada perbedaaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, antara lain:

Pertama, mal ‘uqar dapat dijadikan sebagai objek wakaf tanpa tanpa ada perselisihan dikalangan fuqaha’. Kedua, hubungan ketetanggan terhadap mal ‘uqar menimbulkan hak syuf’ah, yakni hak prioritas seorang tetangga dekat untuk membeli mal ‘uqar sebelum pemilik berkehendak menjualnya kepada orang lain. Ketiga, dalam hal ghasab. Menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf ghasab (mengambil harta/benda orang lain tanpa ijin) tidak mungkin dilakukan terhadap harta yang tidak bergerak, karena harta jenis ini tidak dapat dipindahkan.

3. Dilihat dari segi pemanfaatannya, terdiri atas:

a. Harta yang dapat diambil manfaatnya beberapa kali dengan tidak menimbulkan perubahan pada benda tersebut tetap utuh(mal-isti’ mali), seperti rumah, kebun atau lahan pertanian.

b. Harta yang pemanfaatannya menimbulkan perubahan menghabiskan benda tersebut(mal istihlaki), seperti korek api, makanan, minuman, sabun, dan lain-lain.

Perbedaan harta benda seperti ini menimbulkan konsekuensi hukum dalam hal menjadi obyek transaksi. Pada harta yang bersifat isti’mali dapat dijadikan sebagai obyek akad yang mendatangkan kleuntungan material bagi pemiliknya.

4. Dilihat dari segi status(kedudukan) harta, dapa di bagi menjadi 3 yaitu

a. Mal mamluk, adalah harta benda yang statusnya berada dalam kepemilikan seseorang atau badan hukum (Negara, organisasi kemasyarakatan/yayasan).

b. Mal mahjur adalah harta yang menurut syara’ tidak dapat dimiliki dan tidak dapat diserahkan kepada orang lain lantaran telah diwakafkan atau telah diperuntukan bagi kepentingan umum, seperti masjid, jalan, tempat pemakaman dan segala macam barang yang telah diwakafkan.

c. Mal mubah (harta bebas), adalah segala harta yang termasuk dalam kedua kategori benda diatas. Setiap orang dapat menguasainya dan memiliki jenis barang /benda ini sesuai kemampuannya, orang yang lebih dahulu menguasainya ia menjadi pemiliknya.

5. Mal ashl dan Mal Tsamarah

Mal ashl adalah harta benda yang dapt menghasilkan harta benda lain. Sedangkan Mal Tsamarah adalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan dari Mal ashl tanpa menimbulkan kerugian atau kerusakan atasnya. Perbedaan ini mengakibatkan konsekuensi hukum yaitu:

Pertama, pada prinsipnya harta wakaf adalah tidak dapat di miliki atau di tassarufkan menjadi milik perorangan, namun hal serupa dapat di lakukan terhadap hasil harta wakaf. Kedua, harta yang diperuntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum seperti jalan dan pasar pada prinsipnya tidak dapt dimiliki oleh perseorangan sedang pemnghasilan dari harta umum dapat dimiliki.

6. Malul Qismah dan Ghairu Qismah

Malul Qisma adalah harta benda yang dapat di bagi menjadi bebebrapa bagian dengan tidak menimbulkan kerusakan dan berkurangnya manfaat masing-masing bagian dibandingkan dengan sebelum dilakukan pembagian, seperti emas batangan, daging, kayu dan lain-lainnya. Sedangkan yang di maksud Ghairu Qismah adalah harta yang tidak dapat dilakukan pembagian sebagaimana Malul Qismah, seperti gelas, kursi dan perhiasan.

Perbedaan ini mengakibatkan konsekuensi hukum yaitu:

Pertama, penyelisihan terhadap Malul Qismah yang menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut tafriq, yakni membagi benda menadji beberapa bagian yang terpisah. Kedua, persekutuan terhadap Mal Ghairu Qismah yang belum di tentukan bagian masing-masing, maka pemilik bagian tersebut sah melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain. Ketiga, biaya perawatan terhadap Malul Qismah yang berupa harta yang tidak brgerak yanmg dimiliki secara berserikat yang dikeluarkan oleh oleh seorang pemilik tanpa sepengetahuan atau tanpa seizin pemilik lainnya berlaku sebagai pembiayaan sukarela yang tidak dapat dimintakkan ganti kepada pemilik lainnya.

7. Dilihat dari segi peruntukannya harta di bagi menjadi:

a. Malul khas (harta pribadi), adalah harta benda yang dimiliki oleh pribadi seseorang dan orang lain terhalang untuk menguasainya dan memanfaatkannya tanpa seizing pemiliknya.

b. Malul ‘Amm(harta masyarakat umum), adalah harta benda yang menjadi milik masyarakat yang sejak semula di maksudkan untuk kemaslahatan dsan kepentingan umum.

Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa jenis konsekuensi hukum sebagaimana berikut :

Pertama, Malul khas dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara perikatan yang di benarkan syara’, sedangkan Malul ‘Amm tidak dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas. Kedua, apabila seseorang menggunakan Malul ‘Amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan pribadi. Ketiga, Malul ‘Amm tidak dapat dibebaskan oleh pribadi kecuali demi atas nama kepentingan umum yang sangat besar.

8. Dilihat dari segi padanan harta sejenis di pasaran, harta di bagi menjadi :

a. Mal Misly]

Adalah harta yang mempunyai persamaan dengan tidak mempertimbangkan perbedaan antara satu dengan yang lain dalam kesatuan jenisnya. Biasanya berupa benda harta benda yang dapat ditimbang, ditakar, diukur ataudi hitung kuantitasnya, seperti buah-buahan, sayur-mayur, produk tekstil dan lainnya.

b. Mal Qimly

Adalah harta yang tidak mempunyai persamaan namun terdapat perbedaan kualitas barang yang sangat di perhitungkan, seperti perhiasan, binatang peliharaan, barang antic dan lainnya.

E. Fungsi Harta

Manusia diberi kesempatan oleh Allah untuk memiliki harta banyak dan sedikit, seseorang tidak boleh sewenang-wenang dalam menggunakan hartanya itu. Kebebasan orang untuk memiliki dan memanfaatkan hartanya adalah sebatas yang di benarkan syara’. Disamping untuk kepentingan pribadi , juga harus ada melimpah kepada pihak lain, seperti menunaikan zakat, memberikan infaq dan sedekah untuk kepentingan orang-orang yang memerlukan bantuan seperti fakir-miskin dan anak yatim. Hal ini berarti bahwa hart berfungsi social. Perlu kita ingat bahwa pada harta seseorang ada hak orang lain, seperti firman Allah berikut ini:

“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.(QS Adz-Dzariyaat ayat 19)

Dan firman Allah “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagian orang(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa(orang-orang yang meminta). (QS Al-Ma’arij ayat 24-25). Dan dalam hadis Rasulullah juga dinyatakan bahwa “ sesunguhnya pada setiap harta (seseorang) ada hak (orang lain) selain zakat”( HR Muslim).

Fungsi harta sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk:

1. Kesempurnaan ibadah mahdah, seperti shalat memerlukan kain(sarung, mukena) untuk menutupi aurat.

2. Memelihara dan meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sebab kekafiran mendekatkan kepada kekufuran.

3. Meneruskan estafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.

4. Menyelaraskan antara kehidupan di dunia dan akhirat.

5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.

6. Keharmonisan hidup dalam bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.

F. Pengaruh Harta Terhadap Nafkah Wajib

1. Menafkahi diri sendiri

Pengaruh harta terhadap pengeluaran infak bisa dilihat dalam hal bahwa orang kaya, sesungguhnya dialah yang menafkahi dirinnya sendiri dan orang lain yang tidak berkewajiban menafkahinya. Maka, ketika mengeluarkan infak, prioritasnya adalah memenuhi dulu semua yang dibutuhkan dirinya, yang sangat ia butuhkan. Ibnu Taimiyah berkata,” menafkahi diri sendiri itu lebih di utamakan ketimbang infak lainnya, karena itu adalah Fardu ‘ain”

2. Menafkahi istri

Orang yang telah menikah wajib menafkahi istrinmya, baik istrinya itu kaya maupun mskin. Segala kebutuhan istri juga harus terpenuhi berupa makan, minum, dan lainnya. Orang yang berharta harus memberikan biaya hidup kepada istrinya sesuai dengan tingkat kekayaannya. Para ulama bersepakat bahwa harta itu berpengaruh terhadap pengeluaran nafkah istri, bahwa nafkah yang harus diberikan kepada istri itu berbeda-beda, tergantung kelapangan dan kesempitan rezeki seseorang.

3. Menafkahi kerabat

a. Menafkahi anak

Biaya dan nafkah anak-anak adalah kewajiban ayahnya, ketika masih kecil dan belum memiliki harta benda. Orang tua yang kaya juga harus membiayai anak-anaknya sesuai dengan standar kekayaannya. Ibnu Taimiyah berkata” Nash menyebut anak ini agar menjadi peringatan, bahwa ketika anak ini masih dalam kandungan dan masih masih dalam susuan, maka nafkahnya wajib dberikan kepada ibu yang mengandungnya dan menyusuinya.

b. Menafkahi orang tua

Orang kaya wajib menafkahi kedua orang tuanya yang miskin. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan, antara yang masih berusia muda maupun yang sudah dewasa, dan antara wanita atau laki-laki. Mereka semua memiliki kewajiban yang sama, selama memang berharta.

c. Menafkahi kerabat lainnya

Para ulama bersepakat bahwa orang kaya di perin tahkan menafkahi kerabat selain anak-anak dan orang tuanya yang membutuhkan bantuan, menurut kadar kemampuannya, seperti kakek, nenek, cucu, paman, dan lainnya. Hanya saja, apakah perintah ini wajib atau bersifat anjuran , masih di perselisihkan oleh para ulama.

By: Aoshy

0 comments: